Gordang Sambilan Budaya Mandailing
Masyarakat Mandailing Natal terkenal
dengan masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai nilai kearifan
lokal yang menjadikan berbeda dari suku – suku yang ada di Sumatera Utara.
Salah satu kesenian khas Suku Mandailing adalah Gordang Sembilan.Gordang
artinya gendang atau bedug, sedangkan sambilan artinya Sembilan. Jadi Gordang
Sambilan merupakan gendang atau bedug yang mempunyai panjang dan diameter yg
berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbeda pula. Biasa dimainkan oleh enam
orang dengan nada gendang yang paling kecil 1,2 sebagai taba-taba, gendang 3
tepe-tepe, gendang 4 kudong kudong, gendang 5 kudong-kudong nabalik, gendang 6
pasilion, gendang 7,8,9 sebagai jangat. Sebelum Agama Islam masuk ke Sumatera
Utara, masyarakat Mandailing menggunakan gordang sambilan dalam upacara
Paturuan sibaso, yakni sebuah ritual memanggil roh nenek moyang yang nantinya
akan merasuki medium sibaso. Upacara ini dilakukan jika terjadi kesulitan yang
menimpa masyarakat Mandailing, seperti wabah penyakit menular. Tidak hanya itu,
gordang sambilan juga biasa digunakan dalam upacara mangido udan (meminta
hujan) oleh masyarakat Mandailing. Jika hujan sudah berlangsung cukup lama yang
menimbulkan banjir dan kerusakan hasil panen, gordang sambilan juga digunakan
untuk memohon agar hujan lekas berhenti . Tabung resonator gordang sambilan
terbuat dari kayu yang dilubangi dan salah satu ujung lobang di bagian
kepalanya ditutup dengan membran berupa kulit lembu yang ditegangkan dan diikat
dengan rotan. Instrumen musik tradisional ini dilengkapi dengan sebuah ogung
boru boru (gong berukuran paling besar atau disebut gong betina), ogung jantan
(gong berukuran lebih kecil), doal (gong yang lebih kecil dari ogung jantan),
tiga salempong atau atau mongmongan (gong dengan ukuran yang paling kecil)
Selain itu ada alat tiup terbuat dari bamboo yang dinamakan sarune atau saleot
dan sepasang sambal kecil yang dinamakan tali sasayat. Yang memimpin permainan ensambel gordang Sambilan disebut
Panjangati. Beliau memainkan gordang yang paling besar (jangat). Seorang
panjangati harus menguasai pola ritmik setiap instrument dalam ansambel gordang
sambilan dan memiliki selera ritme yang sangat tinggi. Dia bertugas mengolah
nada nada ritme dari semua pola ritmik instrument gordang sambilan. Tiap
instrument jika diberi aksen yang berbeda akan menimbulkan efek ketegangan yang
berbeda beda. Saat ini gordang sambilan kerap dimainkan saat upacara perkawinan
(Orja Godang Markaroan Boru) dan upacara kematian (Orja mambulungi). Penggunaan
gordang sambilan untuk kedua upacara tersebut apabila untuk kepentingan pribadi
harus terlebih dahulu mendapat izin melalui suatu musyawarah adat yang disebut
markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta
pihak yang akan menyelenggarakan upacara tersebut. Selain itu, juga harus
disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa yang sehat. Namun
apabila persyaratan tersebut belum dapat dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak
boleh digunakan. Pada perkembangannya Gordang Sambilan ini masih digunakan oleh
masyarakat Mandailing sebagai alat music sakaral. Meskipun demikian saat ini
Gordang Sambilan juga dikenal sebagai alat musik kesenian tradisional
Mandailing yang sudah popular di Indonesia bahkan di dunia.