Batang Gadis di Bumi Gordang Sembilan

Dalam bahasa Mandailing, Batang mengacu pada arti ‘badan’ sungai yang besar. Oleh karena itu, selain Batang Gadis, sungai-sungai besar di wilayah ini juga serupa menggunakan kata ‘batang’, seperti : Batang Natal, Batang Parlampungan, Batang Angkola, dan Batang Batahan. Nama Gadis pada Batang Gadis, sejauh ini diketahui berasal dari dua kisah simbolisasi. Kisah pertama menyebutkan, bahwa sungai ini berhulu di Gunung Kulabu di wilayah adat Mandailing Julu, mengumpulkan air dari Batang Pungkut dan Aek Mais, melintas Kotanopan, Tambangan, hingga ke Panyabungan, kota keramaian di wilayah adat Mandailing Godang. Batang Gadis bertemu padu dengan Batang Angkola di Kecamatan Siabu, menembus rimbun hutan hingga akhirnya sampai ke pantai barat Sumatera, melaut di Singkuang. Dari puncak-puncak Bukit Barisan, Batang Gadis akan terlihat meliuk-liuk indah. Berbelok di sela bukit, lurus menembus lembah hutan dan dolok (gunung). Keindahan jalurnya inilah yang diibaratkan seperti seorang gadis yang menari, sehingga sungai terpanjang di Bumi Mandailing ini disebut sebagai (sungai) Batang Gadis.

              Kalau kisah pertama berhubungan dengan ‘morfologi’ sang sungai, kisah kedua berhubungan erat dengan sosiohistoris masyarakat yang mendiami tepiannya. Orang Mandailing memiliki hubungan erat dengan sungai. Selain pemukiman yang seringkali berjajaran dengan alur sungai, keberadaan sumber air untuk kehidupan adalah asal muasalnya. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat Mandailing membutuhkan sungai sebagai sumber pengairan sawah dan perladangan. Sebagai pusat penyebaran agama Islam, sungai menjadi sumber air untuk bersuci (thoharoh), sehingga masjid-masjid seringkali dibangun di pinggiran sungai.

                Selain itu, tepian sungai juga menjadi pusat aktivitas domestik, mencuci dan berbersih yang umumnya dilakukan oleh kaum ibu dan anak-anak gadis. Karena Batang Gadis melintasi banyak pemukiman mulai dari Mandailing Julu sampai ke Mandailing Godang, hingga ke kampung masyarakat Pesisir di pantai barat, maka sungai ini sangat dikenal oleh seluruh masyarakat Mandailing. Setiap hari di setiap perkampungan yang dilewati, aek godang (air/sungai besar) ini diramaikan anak-anak gadis yang mencuci, mengambil air, ataupun membersihkan bahan makanan untuk dimasak. Dari situlah, menurut versi kisah ini, muncul sebutan bagi sungai ini menjadi Batang Gadis.

                Nama Batang Gadis sebagai wilayah administratif sebenarnya sudah muncul sebagai wilayah kabupaten sejak awal Indonesia merdeka.. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, wilayah (yang saat ini dikenal sebagai Kabupaten) Mandailing Natal dibentuk menjadi Kabupaten Batang Gadis dengan ibukotanya Kotanopan. Kabupaten ini dipimpin oleh Bupati Raja Junjungan Lubis, kemudian Fachruddin Nasution. Dengan beberapa pertimbangan pula, ibukota Kabupaten yang semula Kotanopan dipindahkan ke Panyabungan. Pada tahun 1950, terjadi lagi perubahan wilayah administrasi pemerintahan. Kabupaten Batang Gadis digabungkan (bersama dengan Kabupaten Angkola dan Kabupaten Padang Bolak_ed) ke (/menjadi_ed) Kabupaten Tapanuli Selatan (Nasution, 2014). Pada tahun 1999, kabupaten ini kembali berdiri dengan nama Mandailing Natal (Madina). Saat ini, Batang Gadis selain menjadi nama taman nasional, juga dipakai menjadi nama oleh satu desa, yaitu Desa Batang Gadis di Kecamatan Panyabungan Barat. Satu kecamatan di pantai barat Mandailing Natal juga memakai nama ini, yaitu Kecamatan Muara Batang Gadis.